Friday, April 04, 2025

Kenaikan tarif Trumps ?

 





Kalau anda mempelajari tekhnik diplomasi dalam bahasa yang terstruktur dan bersepktrum jauh ke depan, maka anda tidak akan menemukannya pada Trumps. Dia bertolak belakang dari kemapanan kaum intelektual. Coba perhatikan. Tanggal 20 Januari 2025 diumumkan tarif sebesar 25 persen kepada Kanada dan Meksiko. Menurutnya perjanjian sebelumnya tidak masuk akal. Padahal perjanjian perdagangan AS-Meksiko-Kanada (USMCA) itu dia tanda tangani sendiri lima tahun lalu.


Tarif diumumkan, kemudian ditunda, kemudian diberlakukan, kemudian dibatalkan sebagian lagi, kemudian dinaikkan apabila negara yang terkena dampak melakukan pembalasan, dan seterusnya. Tapi apa peduli Trumps. Walau banyak pernyataanya tidak masuk akal, tetapi terus-menerus diulang-ulangnya. Seperti katanya, tarif akan dibayarkan oleh pemerintah asing, bukan konsumen.  Kan bego. Tarif itu pajak tidak langsung, yang bayar ya konsumen.


Seperti hal nya kemarin. Trump memberlakukan tarif resiprokal kepada  negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Berdasarkan data UN Comtrade Database, komoditas ekspor unggulan Indonesia ke Amerika meliputi produk-produk seperti mesin dan peralatan listrik, garmen, lemak dan minyak hewan atau nabati, alas kaki, dan produk hewan air. Penerapan tarif impor untuk Indonesia sebesar 32%, karena Indonesia dinilai menerapkan tarif impor 64% atas barang AS. Hitungan Itu termasuk "manipulasi mata uang" dan non tarif barier.


Negara berkembang seperti ASEAN, bisa saja mengubah tarif impor untuk produk AS agar dapat pengurangan tarif dari Trump. Tapi dampaknya kehilangan pajak sebagai  trade off impor dari AS. Akan semakin sulit membiayai kemandirian industry. Bagi negara besar seperti India, China, Jepang, Eropa akan mengalihkan pasarnya ke selain AS dan sekaligus memperkuat pasar domestic. Walau memang dalam jangka pendek akan membantu mengurangi defisit perdagangan AS. Tetapi dalam jangka Panjang tidak. Justru konsumen AS dirugikan akibat kenaikan tarif impor dan mendorong inflasi.


Elon Musk dan DOGE lebih ngawur lagi. Lakukan efisiensi tapi pada waktu bersamaan berencana mengurangi pajak korporat agar terjadi relokasi industry ke AS. Ini justru akan memperburuk ketidakseimbangan fiskal. Trumps engga paham bahwa adanya defisit fiscal yang sudah mencapai 5,5% dari PDB itu karena ketidakseimbangan tabungan dan investasi. Sumber masalahnya adalah karena tructure cost ekonomi dan sosial sudah terlanjur mahal. Sulit bersaing secara global dalam perdagangan. Ya, kutukan sebagai negara kaya yang banyak gaya. 


Harus dimaklumi bahwa AS menerapkan tarif resiprokal atas dasar situasi dan kondisi dimana AS perlu mengurangi kebijakan tarif impor rendah yang selama ini telah membuat banyak negara diuntungkan. Ya maklum ekonomi AS sedang suffering  yang tidak mungkin terus jadi penyelamat ekonomi dunia. Sudah saatnya AS meminta bayaran seimbang, setidaknya dalam sekian decade kedepan mereka harus focus kepada ekonomi domestik. Bagi Indonesia ke depan, harus diupayakan berunding kepada Pemerintahan Trumps dan menjaga stabilitas kurs agar tidak berdampak kepada peningkatan Yield SBN. 


***

Menurut hitungan AS bahwa Indonesia yang mengenakan tarif 64% kepada barang impor AS. Maka dikenai tarif balasan setengahnya atau 32%. Yang jadi pertanyakan adalah bagaimana hitungannya sampai ketemu angka 64%? Padahal rata rata tarif impor barang dari AS hanya berkisar 4-5%. Katanya berdasarkan rumus : defisit perdagangan AS terhadap Indonesia dibagi dengan total ekspor Indonesia ke AS. Sepertinya cocok logi. Terkesan menyederhanakan.


Karena data rincian hitungan tarif kepada negara lain lebih jelas seperti China, tarif timbal balik 34%, di samping  tarif eksisting 20%, sehingga totalnya  menjadi 54%. Vietnam, Tarif Tambahan (Timbal Balik): 46%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 46% = 56%. Uni Eropa. Tarif Tambahan (Timbal Balik): 20%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 20% = 30%.  Inggris, Australia, Brasil. Tarif Tambahan: 10%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 10% = 20%.


Kalau memperhatikan tarif pada China, Vietnam, dan Indonesia ada tambahan perhitungan yaitu terkait dengan manipulasi mata uang ( manipulate currency ). Memang sulit untuk tahu kebenaran data ini. Karena ini lebih kepada data intelligent currency. Dan AS punya kemampuan untuk tracking adanya manipulasi mata uang yang dilakukan satu negara.


Melemahkan mata uang dalam kondisi undervalue itu tindakan curang dalam perdagangan international. Bisa membuat produk jadi murah dan punya daya saing di pasar global, yang pada waktu bersamaan memproteksi pasar domestic dari arus barang impor. Jadi walau tarif impor barang dari AS hanya berkisar 4-6% namun kalau dihitung termasuk manipulasi mata uang, itu lebih 50% tarif nya.


Karena AS menganut system keuangan terbuka dan transfarance.  Tidak mungkin melakukan manipulasi mata uang. Namun karena adanya manipulasi mata uang oleh mitra dagangnya, AS dirugikan dalam perdagangan international, dengan ditandai defisitnya neraca perdagangan. Bukan itu saja, akibat manipulasi mata uang, banyak pabrik di AS pindah ke China, Vietnam.  Nah, perundingan dagang dengan AS, jadi tidak mudah, Karena ini sudah menyangkut idiologi atau politik.


***

AS memang mendorong terbentuknya WTO. Namun dalam prakteknya. Banyak negara hanya melaksanakan dari sisi formal WTO itu. Sementara hambatan non tarif terus aja terjadi. Udah lama AS ingatkan negara lain untuk konsisten menjaga kesepakatan  WTO. Namun negara lain selalu berdalih dengan data formal. Dan AS punya bukti data intelligent pelanggaran tarif itu.


Indonesia impor jagung dan Kedelai dari AS. Tarip impor murah. Hanya 0%. Tapi AS tahu, procedure impor itu dengan system quota. Artinya pemerintah Indonesia memberikan konsesi monopoli kepada importir. Secara tak lengsung punya bargain position dalam negosiasi harga.  Petani AS tentu dirugikan. Kalau dihitung dengan tarif barrier, itu lebih 50% AS dirugikan. Dan yang miris, negara Indonesai juga engga untung. Yang untung pengusaha rente.


Sama hal nya juga, kita impor shale gas dari AS. Lagi lagi procedure impor walau monopolisi Pertamina namun dibalik itu terjadi kartel. Walau Indonesia kenakan tarif 5% untuk impor namun karena adanya kartel, harga tidak bisa bargain. Eksportir AS dirugikan. Secara tidak langsung tarif jadinya bisa lebih tinggi diatas 30%. Lagi lagi yang untung bukan pemerintah, tetapi pengusaha atau oligarki doang.


Kita terus berupaya membuat lemah kurs IDR dengan RER dibawah 100. Tujuannya agar eksportir bergairah. Bagi AS itu dianggap pelanggaran WTO  dan korup dalam mengelola kurs atau terkesan manipulasi. AS merasa dirugikan adanya moneter barrier itu dan itu berdampak sulitnya industry dalam negeri AS bersaing dengan produk impor.


China memang melakukan moneter barrier tetapi itu untuk kepentingan industry padat karya. Tapi kita? yang nikmati moneter barrier adalah  eksportir tambang yang nilai tradable nya rendah. Sementara Industri padat karya,  tidak tumbuh malah terjadi deindustriaisasi. BI juga tidak diuntungkan. Terbukti DHE masih banyak nangkring di luar negeri. Dan akhirnya kurs IDR loss control pelemahanya. Yang korban ya industry padat karya.


ASTRA memang produk indonesia. Namun AS tahu, pabrik itu hidup dari proteksi pemerintah sejak berdirinya.  Nah saat Astra ekspor kendaraan ke AS, tentu harga nya bisa bersaing dengan produk buatan AS. Karena produsen mobil AS tidak dapat proteksi dari pemerintah. Nah sekarang kena tarif 32 % ayolah bisa engga bersaing ASTRA. Pasti keok, entar lagi kena PHK tuh buruhnya. Dan lagi selama ini yang kaya raya pemegang saham ASTRA. Negara hanya  dapat secuil.


Vietnam, India, Malysia bisa segera berunding dengan good and faith di hadapan AS untuk dapatkan keringanan tarif, Karena negara memang lead. Tetapi Indonesia ? sulit. Karena itu artinya Indonesia harus membantai habis konglo pebisnis rente importir kedele, jagung dan shale gas, ekportir minerba. Kan engga mungkin. Suka tidak suka, para konglo itu punya saham pada kekuasaan Presiden sekarang.


Kita lihat nanti. Apakah pemerintan berani menghapus hambatan tarif itu demi menyelamatkan industry padat karya  atau tetap dengan retorika hilirisasi, MSB dan Danantara? Semua program itu akan jadi omong kosong kalau Kurs melemah, yang tentu cost of fund surat utang jadi mahal, dan pasti tidak ada investor yang mau beli surat utang. Bangunlah, yuang.. Hari la laruik sanjo. Indak elo lalo seh panjang.


Wednesday, March 26, 2025

Roller Coaster ekonomi dari masa ke masa.

 




Zaman orde baru demokrasi ala pak Harto. Walau kita menganut trias politika, legislative, eksekutif, yudikatif namun kekuasaan tetap terpusat kepada Presiden. Dunia tidak peduli. Apalagi Pak harto tidak pernah pinjam uang untuk APBN dari asing atau pasar uang. Dia hanya pinjam uang untuk proyek. Dan itu uangnya tidak mampir di kas negara tetapi masuk langsung ke proyek.  Tentu yang bayar utang adalah proyek itu sendiri. Seperti Pabrik Pupuk, Semen, Petrokimia, PLN, Telkom dan lain lain. 


Pada tahun 1997 krisis berawal bukan krisis pemerntah, tetapi krisis Moneter. Artinya yang krisis BI. Mengapa ? karena modal BI negative. Apa sebab? Akibat KKN. Banyak bank memberikan kredit tidak sesuai aturan dan dengan mudah aturan dilanggar. Contoh, larangan BMPK atau Batas Minimum Pemberian Kredit, kepada afialiasi atau grup dari bank. Moral hazard effect. Pemberian kredit di mark up. Memberikan relaksasi kepada perbankan untuk menarik utang luar negeri lewat PBG dan SBLC.  Dan lain lain.


Lambat laut, arus kas masuk ke bank tersendat. Karena banyak proyek tidak menghasilkan laba. Sehingga tidak ada uang untuk bayar bunga simpanan dan deposito. Bank terpaksa menaikan suku Bunga untuk menyarap likuiditas dari masyarakat. Moneter terdistorsi. BI memberi Kredit Likuiditas kepada Bank agar bunga turun. Belum lagi tagihan dari bank luar negeri atas utang korporat yang dijamin bank dalam negeri di call. Sementara kurs IDR terus melemah akibat devaluasi. Utang luar negeri jadi bertambah dalam IDR. Korporat tidak bisa bayar. BI terpaksa bailout guna menghidari effect systemic.


Soeharto bisa saja berkelit itu masalah BI. Tetapi dia lupa. Bahwa BI itu tidak terpisah dari pemerintah. Artinya dengan adanya pelonggaran kredit oleh BI, itu sama saja pemerintah menambah uang beredar, yang bagaimanapun harus dibayar lewat fiscal. Sementara sistem fiscal belum solid akibat sistem demokrasi yang terpusat. Jatuhnya kurs, karena jatuhnya trust pasar. Yang tentu berdampak kepada jatuhnya trust politik. Soeharto sadar. Yang dihadapinya adalah sistem yang dia pilih sendiri dan dia dijatuhkan oleh sistem itu sendiri. Dia lengser.


***


Setelah Soeharto lengser. Habibie tampil berkuasa. Yang pertama dia lakukan adalah mengembalikan Trust. Caranya? Inilah nasehat Director IMF, buat undang undang reformasi Politik, yang akan menjadi dasar reformasi keuangan negara. Selama 7 bulan kekuasaannya, Habibi berhasil membuat UU Otonomi Daerah, UU kebebasan Pers, dan UU Independensi BI. Otonomi daerah memastikan tidak ada lagi sentralistik. UU Pers, memastikan negara tidak boleh intervensi kebebasan Pers dan UU BI, menjamin pemerintah tidak boleh intervensi.


Era Gus Dur, IMF minta lagi agar pisahkan TNI dari Sipil. Jadi tidak ada lagi militerisme. Era Megawati, berlaku SAP. KPK sebagai Lembaga adhock dibentuk. Pemberantasan Korupsi segera dilaksanakan dan pada waktu bersamaan reformasi kelembagaan POLRI, Kejaksaan, Hakim Tipikor dilakukan secara terprogram. Agar kelak kalau sistem peradilan sudah solid, maka KPK bisa dibubarkan. juga disahkan UU Keuangan negara dan UU Perbendaraan negara. Agar disiplin anggaran dilakukan secara transrfaan sesuai dengan Government finance statistic reform


Era SBY, Indonesia sudah  clean dari masa lalu. SBY tidak punya beban politik akibat krismon. Karena masalah BLBI sudah diselesaikan lewat Obligasi rekap ( QE). Asset obligor BPPN sudah disita dan dilelang lewat BPPN. Indonesia sudah masuk ke wahana financial resource. Tidak perlu repot cari duit. Tinggal hitung berapa defisit APBN, ya pemerintah terbitkan SUN. 8 tahun Era SBY, PDB meningkat 193%. Dahsat kan. Dari keterpurukan bisa bangkit menuju negara dengan PDB USD 1 trilion dan qualified jadi anggota G20.


Yang disayangkan peningkatan PDB itu bukan karena meningkatnya produksi dan Human Capital, tetapi karena kemudahan berhutang yang sebagian besar dipakai untuk subsidi konsumsi (BBM) dan lain lain. Makanya SBY mewarisi defisit primer kepada Jokowi. Pendapatan dikurangi belanja ( tidak termasuk bayar bunga) hasilnya defisit. 


Di era Jokowi, difisit itu disikapinya dengan rasionalisasi APBN. Mengurangi pos subsidi dan meningkatan tax ratio lewat tax amnesty. Trust market bangkit lagi. Jalan berhutang terbuka lagi. Sampai pada periode pertama. Jokowi selamat. Bisa pertahankan pertumbuhan diatas 4% dengan terbangunnya infrastruktur secara luas. Namun periode kedua. Pandemi COVID melanda. Ekonomi kontraksi. BIaya pandemic menguras anggaran yang dibiayai dari SBN burden sharing. 


Pada saat Pandemi, karena skalanya luas, moral hazard penyimpangan anggaran tidak terelakan. ICOR nakk diatas 6. Juga terjadi perang dagang China-AS dan setelah itu terjadi perang Rusia-Ukraina yang membuat harga pangan dan MIGAS melambung. Kurs IDR melemah terus. Karena banyak devisa terpakai untuk impor. Pada waktu bersamaan kita diuntungkan oleh kenaikan harga ekspor komoditas utama. Kita mengalami windfall. Surplus perdagangan. APBN selamat dan bisa terus berhutang lewat SBN. IHSG meningkat diatas 7000. Pasar modal bullish. Harapan besar. 


Namun dari tahun 2023 likuiditas mulai berkurang akibat terserap SBN. Puncaknya tahun 2024. Asing mengurangi porsinya.  Mengapa ? karena the Fed menaikan suku bunga setelah QE. Akibatnya likuiditas mengalir ke AS. Era suku bunga tinggi memang merepotkan BI dan Menteri keuangan.Apalagi tax ratio tidak meningkat significant. Korupsi skalanya semakin besar dan meluas. Utang meningkat 3,5 kali lipat dari stok utang 2014. Antisipasi berkurangnya Likuiditas, DPR bersama pemerintah mengizinkan BI masuk kepasar Perdana beli SBN.


Era Prabowo. Likuiditas semakin ketat. Porsi kepemilikan SBN oleh BI makin besar yaitu diatas 25%. Yield SBN terus meningkat. Resiko SBN membayangi. Akibat defisif fiscal. Yang menanggung bunga dan hutang jatuh tempo era Jokowi. Engga ada lagi tersisa untuk ekspansi, kecuali pagu utang yang diatur UU diubah. Kalau diubah, pasti yield SBN akan meningkat lagi. SBN jadi jatuhnya murah, dan lama lama bisa jadi sampah. Solusinya? Mendapatkan dana diluar skema APBN. Nah dibentuklah BPI Danantara.


Dalam konteks ngurus negara, saya tidak setuju skema financial resource di luar APBN seperti Danantara. Mengapa? Walau diluar skema APBN kan tetap saja melibatkan  negara sebagai undertaking secara tidak langsung. Sulit dijamin displin penggunaannya. Karena pengawasan dan pengendalian disiplin dana tidak seperti di APBN yang ada Lembaga yang lahir dari Rahim demokrasi seperti BKP, BPKP, KPK dan inspektorat pada setiap kementrian.


Saya setuju kalau keberadaan Danantara ini focus kepada program rasionalisasi BUMN dan Asset menager. Dengan rasionalisasi BUMN, proses  transformasi BUMN berkelas dunia bisa dimitigasi resikonya. Setelah BUMN sehat, biarkan BUMN mencari dana sendiri lewat perbankan, pasar uang maupun pasar modal, untuk melaksanakan penugasan dari negara sebagai agent of development. Itu tidak akan sulit. Mana ada investor engga mau deal dengan korporat yang sehat dan profitable.


Sebagai Asset Manager, Danantara jangan ambil modal dari sumber likuiditas bendahara negara. Cerdas dikitlah. Engga melulu harus tunai. Jadi caranya, saat terima deviden BUMN, saat itu juga belikan SBN. Likuiditas bendahara negara tidak terganggu. Nah kalau Danantara perlu uang merasionalisasi BUMN, bisa gunakan SBN itu lewat pasar repo. Tentu pastikan setiap penarikan dana lewat REPO dengan skema yang secure sehingga bisa rolling. Jangan sampai default. Kalau default itu sama saja makan dari uang negara.


Sebagai asset manager, Danantara bisa provide financial solution mengatasi defisit fiscal. Pos pembiayaan APBN bisa dilempar ke Danantara. Jadi APBN tidak lagi defisit. Misal, pemeritah harus bayar utang jatuh tempo dan menugaskan Danantara untuk melakukan restruktur. Tidak lewat revolving bayar utang pakai utang, tetapi lewat Debt SWAP. Caranya ? Danantara wrap SBN itu menjadi instrument structure back securities. Kemudian instrument structure itu di SWAP dengan Bond negara laib anggota OECD atau BRICS.


Misal, bunga Bond  Jepang 1%. Bunga SBN 6%. Danantara tukar SBN itu dengan instrument back securities yang berbunga 2%. Nah 4% itu jadi income Danantara. Income itu sangat besar. Pertahun kita bayar bunga diatas Rp. 400 triliun. Bisa hemat Rp 300 triliun, itu sangat besar untuk menjamin likuiditas BUMN melaksanakan tugas negara membangun proyek strategis nastional


Atau Danantara bisa memanfaatkan pasar credit carbon. Potensi credit karbon kita sangat besar. Bisa mencapai Rp. 8000 triliun. Caranya? Negara memberikan hak konsesi hutan tropis kepada Danantara untuk dilestarikan dan dijaga. Dari sumber daya itu bisa disekuritisasi untuk dapatkan uang dari pasar credit carbon dan uangnya untuk bayar utang negara.


Apa yang saya jelaskan diatas, bukan hal too good to be true. Tentu harus melewati prosedur risk management, international financial compliance standards yang ketat dan sophisticated,  dan  tidak bisa cepat. Butuh waktu lama berproses. Setidaknya perlu 5 tahun  untuk bisa established.. Tapi tanpa dukungan team professional yang punya dedikasi bela negara dan standar moral yang tinggi, serta  dukungan sistem demokrasi yang sehat hampir tidak mungkin bisa sukses.  


***


Problem utama kita sejak era Soharto sampai era Prabowo adalah buruknya management resiko dalam mengelola sumber daya. Itu karena politik menjadi panglima. Sehingga dengan mudah membuka peluang korporat menguasai bisnis rente yang non tradable dan meningkatkan uang beredar tanpa terkendali lewat bursa dan sistem perbankan. GINI rasio memburuk. Dampaknya terjadi ketidak seimbangan fiskal dan moneter. Hanya masalah waktu, pasti akan tergelincir sendiri. Seharusnya hukum sebagai panglima. Ya Hukum atas dasar sistem demokrasi yang sehat tentunya.


Saya hanya rakyat jelantah. Bukan siapa siapa. Saya mendukung saja setiap upaya yang terbaik untuk negara, tentu dengan sikap kritis. Saya sadar, upaya tetaplah upaya. Tentu tidak ada rencana yang sempurna. Pasti ada proses mitigasi resiko, trial and error. Tapi yang penting selama proses itu pastikan Pak Prabowo sehat. Kalau ada apa apa dengan dia, habis kita. No hope. 


*Ditulis di SQ pada ketinggian 33,000 feet 

Saturday, March 22, 2025

BlackRock

 



Mungkin orang awam menganggap BlackRock (BR) bagian dari elite penguasa keuangan dunia. Itu ada benarnya namun pastinya tidak seratus persen benar. Mengapa ? karena BR adalah Lembaga keuangan non bank yang berbisnis mengelola asset bukan miliknya. Jadi kalau asset yang dikelolanya ( AUM) sebesar USD 11,5 trilion, itu bukan berarti dia pemilik asset. Namun yang pasti dia dapat trust dari clients nya. Ini yang mahal. Maklun dia bukan negara tetapi trust nya lintas negara.


BR hanya sebagai meneger asset dan mereka dapat fee atas jasa itu.  Siapa yang bayar fee itu? Ya para clients seperti Dana Pensiun, Bank central, SWF, High-net-worth individual (HNWI) dan lain lain. Artinya kalau kinerja AUM nya buruk tentu dia akan ditinggalkan oleh Clients-nya. Apalagi kalau terlibat skandal korupsi seperti PLN atau Pertamina. Udah pasti tamat dia.


Secara bisnis, BR bukan bisnis yang high profit. Maklum dia hidup dari fee saja. Dan saham BR juga bukan pilihan yang bagus. Karena tahun 2024 saja dia membayar bonus kepada Direksi sebesar USD 800 juta. Jadi lebih mengutamakan personal para pengelola daripada pemegang saham. Makanya ada wacana akan diakusisi oleh JP Morgan. Namun rencana itu hanya jadi wacana. Karena terhalang oleh UU anti monopoli dari FTC ( federal Trade Committee ).


Bagaimana BR bisa begitu raksasa AUM nya? Padahal berdiri baru beberapa decade yaitu tahun 1988. Jawabnya, karena pemegang saham BR memang pemain lama dalam dunia keuangan. Siapa saja? Pemegang saham terbesar adalah Vanguard. Kemudian berikutnya adalah Blackrock Inc, State Street, Bank of America dan Temasek. Tentu ada pemegang saham personal seperti Susan Wagner, Laurence Fink, Robert Kapito. Richard Kushel, Murry Gerber. Mereka semua pendiri BR.


BR punya platform investasi yang terhubung dengan ribuan saham di bursa efek utama. Kalau anda berniat berinvestasi pada platform trading BR,  Anda bisa membuka akun ETF ( exchange trade fund). ETF merupakan mutual fund  berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang unit penyertaannya diperdagangkan di Bursa. Ada dua jenis ETF. Satu bersifat terbuka yang berbasis index. Satu lagi ETF bersifat tertutup. 


Kalau ETF bersifat terbuka, investor bisa flexible dalam berivestasi. Tidak semua investor berivestasi denga uang cash. Mereka hanya ada kumpulan asset berupa saham dan obligasi yang ditempatkan di bank custodian. Nah ETF-BR punya fasilitas untuk mengakses duit lewat Short selling dan Repo. Sehingga investor tidak perlu jual asset untuk berinvestasi dalam perdagangan berjangka. Kalau ETF bersifat tertutup tidak berbasis index. Itu pure dealing di market lewat meneger investasi. 


Kalau anda punya skill trading, keberadaan BR ETF memungkinkan wahana terbuka lebar dan lintas batas. Data riset mereka juga hebat terupdate real time. Sehingga bisa cepat membaca perubahan market dengan benar. Engga sulit dapat cuan. Makanya hampir semua orang kaya yang punya kelebihan uang berinvestasi pada ETF BR. Dan wajar kalau total AUM BlackRock mencapai lebih USD 10 trilion  yang nilainya 10 kali dari PDB Indonesia. Bahkan lebih besar dari PDB seluruh negara ASEAN.


Nah karena BR mengelola asset dari investor institusi dan individu berkelas dunia. Itu semua clients nya.  Tidak sulit bagi BR untuk mendukung pendanaan proyek yang punya bisnis model yang strong. Lewat SPV mereka create product investasi semacam thematic bond untuk pembiayaan pada proyek yang punya value strategis, seperti renewal energi, media dan video stream, energi, IT, mining, logistic dan food. Produk investasi BR ini diperjual belikan lewat ETF dalam kemasaran hedge fund. Sementara pendanaan pada perusahaan start up  lewat skema Convertible bond dari  unit bisnis Venture Capital BR. 


Mengapa saya ceritakan soal BlackRock ini? Itu sebagai wawasan bagaimana asset menegement holding company mengelola bisnisnya. Kekuatan mereka ada pada SDM yang professional. Kekuatan riset dalam menentukan keputusan investasi. Punya standar tinggi terhadap etika moral. Dan menolak nepotisme, apalagi bersinggung dengan politik. Jadi credit rating atau trust ada pada standar itu. Nah apakah Danantara bisa seperti BR? 


Friday, March 21, 2025

Mana ada manusia berhati malaikat.

 




Saya diminta sebagai nara sumber dalam diskusi terbatas. Tentu topik yang dibahas terkait pasar modal dan pasar uang. Dari awal dikusi saya menyimak saja. Saya tahu diri. Kalau engga ditanya, saya tidak akan bicara. Karena saya tidak punya referensi cukup bicara secara akademis tentang ekonomi makro. Saya hanya membaca apa yang terjadi dan menganalisanya dengan cara sederhana. Ya lebih kepada hal praktis saja.


Pada sesi terakhir saya diminta pendapat. Saya pandang mereka satu persatu. Apa yang harus saya katakan. Semua mereka bicara tentang prospek ekonomi kita yang tetap terbaik dibandingkan negara lain. Masih growth. Jauh dari resesi. Walau ada goncangan akibat faktor eksternal , mesin ekonomi kita masih akan tumbuh diatas 4%, begitu kata OECD.


Sebelum saya mulai, ada baiknya saya mengutip kata kata George Soros " There is a powerful case for the market mechanism, but it is not that markets are perfect; it is that in a world dominated by imperfect understanding, markets provide an efficient feedback mechanism for evaluating the results of one's decisions and correcting mistakes.” Saya akan memberikan gambaran bagaimana pemain hedge fund melakukan hostile T/O terhadap sistem keuangan negara. Prosesnya step by step.


Saya awali dengan analogi market. Katakanlah trader A punya asset SBN sebesar Rp 100 miliar. Lewat skema REPO, dia jaminkan SBN itu kepada investor untuk dapatkan pinjaman Rp. 100 miliar. Sesuai kontrak yang disepakati,  premium atau selisih harga jual dan beli 1% atau Rp. 1 miliar. Harga opsi tebus jadi  Rp. 101 miliar. Artinya dia hanya cash out Rp 1 miliar. Namun pergerakan pasar SBN terbentuk sebesar Rp 100 miliar. Peningkatan yang tajam dalam perdagangan basis ini, beresiko bagi sistem keuangan nasional. 


Apa yang saya analogikan diatas, adalah operasi hedge fund pada pasar SUN. Dipengaruhi oleh Demand and supply. Setiap ada yang ambil posisi dia berpotensi kalah ( rugi ) atau menang ( untung.). Yang jadi masalah adalah pemain hedge selalu berada di depan gelombang. Dia sudah hitung dengan rijid kemungkinan di masa depan dan dengan itu dia design agenda untuk memancing orang masuk dalam kotrak dan jadi pecundang. Dan proses nya berjalan dengan terstruktur dan sistematis.


Ketika pasar modal crash, biasanya pemain hedge fund beralih ke pasar SBN. Ini saatnya panetrasi. Karena Index bursa jatuh disebabkan  daya beli  melemah. Sementara ekpansi APBN sebagai mesin pendorong growh lumpuh. Karena defisit fiscal melebar, yang memaksa pemerintah menambah utang.  Hukum demand and supply berlaku. Kalau penawaran tinggi, harga jatuh. Yield SBN akan terkerek naik.  Pemain hedge fund sell down saham dan reposisi ke SBN. Take advantage kepada pemerintah yang BU.


Tapi issue resiko atas defisit fiscal itu ditepis oleh proxy hedge. Semua mentri dan DPR satu nada mengatakan bahwa ekonomi kita baik baik saja. Biasanya pihak perbankan dan LK dan Dapen mudah sekali terprovokasi. Sehingga mudah jadi korban trading surat utang oleh pemain hedge fund. Nanti setelah semua masuk trap, Asset SBN yang ada di perbankan, BI, Lembaga keuangan menyusut akibat yield yang terus terkerek. Selanjutnya yang dihajar adalah mata uang. Sekali goyang, muncrat dan langsung IDR loyo…dampaknya bisa sistemik.


Biasanya di situasi mendung itu, dalam rangka recovery crisis ekonomi, terpaksa pemerintah masuk dalam perangkap SAP ( standard adjustment protocol) yang mengharuskan negara melakukan divestasi BUMN dan melepas sumber daya alam. Hostile take over terjadi. Selanjutnya pemerintah hanyalah proxy pemain hedge fund. Contoh yang terjadi pada Ekuador, Argentina, zimbabwe, Srilanka dan Bangladesh.


Akhir cerita. Semua itu terjadi karena pemerintah tidak pernah berpikir realistis. Selalu cari kambing hitam. Selalu berusaha mencari jalan too good to be true. Bahkan menjadikan pemain hedge fund sebagai penasehat. Dan menjadikan konglomerat sebagai mitra solving problem. Mana ada player berhati melaikat. Semua setan kok. Demikian dan terimakasih, kata saya mengakhiir diskusi.

Sunday, March 09, 2025

Sehat selalu pak...

 



Kalau saya terkesan mendukung Prabowo dan kadang terkesan mengkritik, itu karena kecintaan saya kepada negeri ini. Saya tahu  niatnya sangat mulia untuk negeri ini. Dia tidak punya ambisi personal. Karena secara materi dia sudah punya segala galanya. Secara politik dia pendiri partai yang rating 4 besar di republic ini. Anaknya sudah nyaman sebagai professional. Engga mungkin minta konsesi politik jabatan.


Saya justru sedih. Karena diusia dia yang diatas 70 tahun, dia terbawa arus politik yang menjadikan dia sebagai presiden. Yang lebih menyedihkan lagi takdirnya mengharuskan dia berada  disituasi ekonomi global yang sedang mendung. Dia harus melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Jokowi. Kalau melanjutkan dengan kelebihan tabungan dan APBN surplus, tentu tidak ada masalah. Tetapi ini tidak dalam keadaan baik baik saja.


Yang jadi masalah adalah APBN defisit mendekati pagu utang yang ditetapkan UU. Artinya ruang fiscal sangat sempit untuk ekspansi. Sementara dia punya rencana besar mencapai pertumbuhan 8%. Dengan  positif thingking dia menerima semua stakeholder nya pada Pilpres 2024 masuk dalam jajaran cabinet dan lingkaran istana. Tentu itu sikap kompromi yang transaksional. Ada trade off yang dia harapkan. Apa? Financial solution  dan budget solution.


Saya menduga, belum adanya release APBN sampai dengan Maret. Karena Prabowo masih menanti financial solution yang dijanjikan oleh mereka yang ada dalam cabinet.  Itu karena warisan utang era Jokowi jatuh tempo di eranya. Maklum tahun ini, pemerintah harus bayar utang Rp. 800 Triliun dan Bunga Rp. 550 triliun. Itu diatas 50 % dari penerimaan pajak. Berat sekali. 


Saya tahu itu membebani pikiran pak Prabowo. Apa jadinya kalau target pajak tidak tercapai karena situasi ekonomi global tidak mendukung? Kan bisa berdampak sistemik terhadap SBN, IDR dan IHSG. Mengapa ? memang utang  tidak begitu besar dibandingkan negara lain. Yang jadi masalah adalah cash flow negara tidak mendukung. Jadi walau utang relative kecill, asset besar, namun uang cash engga cukup tersedia mendukung pertumbuhan. Makanya utang jadi masalah.


Saran saya, sudahi semua rencanan too good to be true. Lebih baik kembali kepada akal sehat. Mari berproses kepada perbaikan secara holistic dan terstruktur dengan baik. Caranya? Penggal APBN  dan pastikan APBN surplus. Kemudian bapak bicara di DPR. Sampaikan apa adanya keadaan ekonomi negara. Bahwa perlu reformasi ekonomi dan hukum. Segera sahkan UU Perampasan Asset dan pembuktian terbalik. Kalau mereka tidak mendukung, rakyat pasti mendukung bapak. Engga apa apa susah. Tapi kita melangkah dengan langkah kanan.


Nah semua team yang menjanjikan too good to be true, kick out aja. Mereka buang waktu bapak. Pastikan semua mereka yang terlibat skandal korupsi yang selama ini disembunyikan di brangkas aparat hukum agar diproses. Kemudian, pilih team professional yang punya kompetensi kelas dunia sebagai tekhnorat.  Engga usah kawatir. Saya yakin tidak perlu dua tahun. Setahun aja ekonomi bisa recovery dan kapal besar NKRI bisa dengan gagah menuju dermaga harapan. 


Yang penting, bapak jaga kesehatan. Kalau terjadi apa apa dengan bapak, Indonesia akan mundur jauh sekali ke belakang. Recovery nya butuh waktu lama dan ongkosnya mahal. Sehat selalu pak..

Kenaikan tarif Trumps ?

  Kalau anda mempelajari tekhnik diplomasi dalam bahasa yang terstruktur dan bersepktrum jauh ke depan, maka anda tidak akan menemukannya pa...